Sinopsis Page Turner Episode 2 (Bagian 2)


Sinopsis Episode 2-2:

Cha Sik menemukan tongkat Yoo Seul yang terjatuh. Ia hendak mengembalikannya namun terdengar suara keras ibu Yoo Seul.

“Apa kau sudah gila?! Sudah Ibu bilang jangan pernah naik sepeda! Bagaimana jika tanganmu terluka? Kau tidak akan bisa main piano lagi.” Speechless deh sama ini ibu >,<

Ibu bertanya apakah ini pilihan yang Yoo Seul buat. Berkeliaran dengan berandalan bodoh seperti Cha Sik? Itukah sebabnya Yoo Seul ingin berhenti piano dengan alasan ingin membuat pilihan sendiri? Oucchhh…wajah Cha Sik saat mendengar itu :(


“Cha Sik tidaklah bodoh! Dan dia juga bukan berandalan!,” Yoo Seul membela Cha Sik.

“Kau tidak bisa melihatnya jadi jangan berani--beraninya kau melawan. Ibu langsung tahu begitu melihatnya. Ia terlihat jahat dan picik!”

“Jangan hakimi dia dari penampilannya! Dia tidak layak mendapat penilaian seperti itu! Dan apa yang Ibu katakan lebih kejam dan picik dari apapun di dunia!”

Tutup mulutmu!! Ibu menampar Yoo Seul. Yoo Seul tertegun sambil memegangi pipinya. Begitu juga Cha Sik yang mendengar dari luar.


“Kau sendiri yang mengatakan kalau kau tahu apa yang Ibu korbankan demi dirimu. Jika kau begitu tahu, mengapa kau mengecewakan Ibu?! Ibu kira jika Ibu menunggumu, kau akan sadar. Ibu kira kau akan datang dan meminta maaf. Tapi kau hanya semakin memburuk,” kata Ibu tanpa menyadari Yoo Seul yang terlihat shock dan gemetar karena tamparan tadi. Ia malah bertanya apa Yoo Seul begitu membencinya.

“Aku seperti ini karena aku tidak mau membenci Ibu!!” Yoo Seul setengah berteriak.
Sambil menahan tangis ia berkata ini pertama kalinya ia naik sepeda dalam hidupnya. Dan itu begitu menyenangkan.

“Begitu menyenangkan hingga aku berpikir….pasti akan lebih menakjubkan jika aku bisa melihatnya. Begitu banyak hal yang kusesali sejak aku kehilangan penglihatanku.

 ‘Aku seharusnya pergi ke pantai’. ‘Aku seharusnya nonton di bioskop’. ‘Kebun binatang itu seperti apa’? Aku seharusya melihat semuanya saat aku masih bisa melihat!
Mengapa Ibu selalu menyuruhku main piano? Mengapa ia melarangku pergi ke mana-mana dan melakukan hal-hal lain?! Aku sangat marah dan sangat menyesalinya!!”


Ibu terhenyak mendengar penuturan Yoo Seul. Tapi ia belum mau mengalah. Ia berkata untuk apa Yoo Seul marah. Yoo Seul sudah mendapat lebih banyak dengan tidak melakukan semua itu.

“Lihatlah semua penghargaan dan piala-piala itu!” Ibu menunjuk rak yang dipenuhi piala Yoo Seul. “Itu apa? Apa semua itu juga penyesalan? Kau gembira ketika kau menang.”

“Tidak! Ibu yang senang karena piala-piala itu milik Ibu. Aku tidak pernah satu kali pun menganggap semua itu milikku. Karena aku menjalani hidup yang telah Ibu pilih untukku, aku tak bisa tidak menyalahkan Ibu setiap kali aku menyesali pilihan itu.”

Yoo Seul berkata ini adalah hidupnya dan tidak seharusnya ia menyalahkan ibunya atas hidupnya. Karena itu mulai sekarang ia yang akan membuat pilihan sendiri dan menyalahkan dirinya sendiri atas pilihan yang ia buat.

“Aku melakukan ini karena aku tidak mau membenci Ibu. Aku tidak sedang memberontak.”


Ibu terdiam dan menangis meski tak mau memperdengarkannya pada Yoo Seul. Di luar, Cha Sik sudah pergi. Ia meninggalkan tongkat Yoo Seul tersandar di pintu.

Ibu melihat semua penghargaan dan piala Yoo Seul. Dan foto-foto saat Yoo Seul memenangkan semua itu.

“Dasar gadis bodoh….Ia tidak tersenyum satu kalipun…..satu kali pun...”


Keesokan harinya Cha Sik muncul mengenakan jas dan kacamata, dengan gaya rambut klimis. Ia menyapa ibu Yoo Seul dengan ramah.

“Bagaimana penampilanku? Apa aku masih terlihat seperti berandalan bodoh?” tanyanya.
“Apa kau punya kebiasaan menguping?” Ibu balik bertanya dengan ketus.

Cha Sik meminta maaf. Ia berkata ia bukan sengaja menguping, tapi tidak sengaja mendengar.

Yoo Seul keluar dari rumah. Cha Sik sekali lagi menanyakan pendapat ibu.
“Kau tidak terlihat seperti berandalan tapi seperti preman yang sedang berkeliling menagih uang,” kata ibu.

Heol…Cha Sik bengong.


Malamnya Cha Sik bercerita pada ibunya. Ibu tidak terima puteranya dikatakan seperti itu. Lalu apa Cha Sik membiarkan ibu Yoo Seol berkata seperti itu.

“Tentu saja tidak!” kata Cha Sik.
“Bagus, tentu saja kau tidak bisa membiarkannya. Jadi apa yang kaukatakan?” tanya ibu.
“Aku bilang: aku minta maaf.”

Apa?! Giliran ibu yang bengong.


Kembali pada peristiwa pagi tadi. Cha Sik meminta maaf karena ia terlihat seperti preman yang sedang berkeliling menagih uang. Sambil membungkukkan badan segala XD

“Tapi apa yang salah dengan pakaianku?” tanyanya polos. “Jika Nyonya memberitahu, Nyonya akan melihat gaya berpakaianku meningkat.”

“Kau ini bodoh atau kau ingin mempermalukannya (Yoo Seul)?” 

Tidak keduanya, jawab Cha Sik sambil tersenyum. Yoo Seul yang sudah memilihnya. Jadi ini adalah tekadnya untuk tidak mengecewakan Yoo Seul.


“Aku tidak bisa tiba-tiba berpakaian dengan baik, tapi aku akan berusaha sebaik-baiknya hingga Nyonya menyukai cara saya berpakaian,” kata Cha Sik tegas sambil membungkukkan badan.

Ia memegang tangan Yoo Seul dan memasukkannya ke saku jasnya. Mereka pun pergi.
Ibu masih mengomel sendiri. Tapi setelah keduanya pergi, ia melihat mereka dengan tatapan melembut. Sepertinya ia mulai tersentuh dengan sikap Cha Sik.


Dalam perjalanan, Yoo Seul bertanya adakah yang Cha Sik inginkan. Ia merasa ia berhutang banyak pada Cha Sik juga atas perlakuan ibunya. Ia merasa tak enak dan ia tak tahan merasa berhutang pada orang lain.

“Tidak apa, kau tidak perlu minta maaf” kata Cha Sik. Tapi lalu ia mendapat ide. Ia berkata ada sesuatu yang ia ingin Yoo Seul lakukan dibandingkan dengan minta maaf.


Cha Sik membawanya ke depan piano nyentrik dalam terowongan. Cha Sik ingin mendengar Yoo Seul bermain piano.


“Tidak mau. Sudah kubilang aku berhenti main piano.”

“Ayolah, kau bilang kau ingin impas tapi ternyata itu tidak benar. Kau berhutang banyak padaku tapi sepertinya kau biasa saja. Kau ini berlawanan dengan kata-katamu sendiri.”
“Baik! Aku akan mainkan untukmu!” kata Yoo Seul kesal.

Cha Sik dengan gembira membimbing Yoo Seul ke depan piano. Dalam hatinya Yoo Seul bertanya-tanya apakah ia bisa memainkannya.


“Kuharap kau memainkan lagu yang kutahu,” kata Cha Sik.
“Memangnya ada lagu yang kautahu?” sergah Yoo Seul.

Yoo Seul menekan beberapa tuts dan berkata suaranya persis seperti suara Cha Sik. Murahan dan jelek.

“Hei! Apa kau dan ibumu bersekongkol mengataiku!” protes Cha Sik. Ia berkata ini sih bukan permintaan maaf namanya.

Yoo Seul menjawabnya dengan memainkan jarinya pada piano.
“Whoah, daebak!!” seru Cha Sik kagum.

Yoo Seul melarang Cha Sik memberitahu siapapun kalau ia memainkan piano di sana. Cha Sik berkata ia akan membawa rahasia ini ke kuburnya.


“Memangnya Ibumu ini kuburanmu?” ujar Ibu sambil tersenyum geli saat Cha Sik menceritakan kejadian itu malam harinya. Keduanya sedang menempel iklan jasa menulis ibu di tiang-tiang listrik.

Apa maksudnya, tanya Cha Sik bingung. Ini anak pinter atau ngga sih hahaha^^

“Kau bilang kau akan membawa rahasia itu ke kuburmu tapi sekarang kau membocorkannya pada Ibu.”

Membocorkan? Cha Sik tidak terima. Ia berkata ia membagi rahasia ini hanya dengan ibunya.


Ibu berkata jika Cha Sik menyimpan rahasia darinya maka Cha Sik sudah dewasa. Sekarang ia tidak yakin apakah Cha Sik sudah dewasa.

“Iya..iya..maaf aku sudah seperti anak kecil. Aku akan jadi dewasa. Jadi aku tidak akan lagi membagi rahasia dengan ibu. Senang sekarang?” Cha Sik merajuk.

“Aduh, Tuan Jeong…Tuan Jeong, kau ngambek lagi. Apa kau ngambek?” tanya Ibu. Cha Sik cemberut tak mau menjawab.

“Jadi bagaimana? Apa ia bermain piano dengan baik?” tanya ibu pelan.


Haha..Cha Sik langsung berceloteh mengenai kehebatan Yoo Seul. Menurutnya Yoo Seul adalah pianis terbaik ke-2 setelah ayahnya.

“Apa Ibu tahu rasanya? Seperti pelangi yang terdengar indah. Luar biasa indah….hingga mengubah manusia menjadi malaikat, dan membuat dunia menjadi seperti surga,” Cha Sik memejamkan matanya mengingat kembali suara indah yang diperdengarkan Yoo Seul melalui alunan pianonya. Yoo Seul memainkan Symphony No. 9 Beethoven (yang kemudian bagian akhirnya digunakan pada lagu Joyful Joyful We Adore Thee).


Cha Sik berkata ia merasa sangat bahagia hanya dengan melihatnya. Seperti pelangi yang tak pernah ia inginkan untuk berlalu.

“Pasti sangat indah,” kata ibu.
“Iya, dan Ibu tahu apa yang lucu? Aku mulai mendengar lagu yang sama dalam mimpi-mimpiku akhir-akhir ini.”

Ibu bertanya mimpi apa itu. Cha Sik menahan senyumnya sambil berkata ia tidak tahu karena ia lupa begitu ia bangun. Heee…mencurigakan ;p

“Kau bilang kau lupa tapi bagaimana kau ingat musiknya?”
“Aku tidak tahu, aku hanya ingat musiknya,” kata Cha Sik.


Ibu mendapat telepon dari seorang kliennya yang marah-marah karena tidak diterima bekerja. Menurut klien itu, ia tidak diterima bekerja di mana pun gara-gara CV yang dibuat ibu. Ibu terpaksa berkata ia akan mengembalikan uang klien tersebut.

Cha Sik kesal setelah mendengar hal itu. Ia hendak memarahi balik klien ibunya. Tapi ibunya menenangkannya. Ia berkata mungkin kliennya memang benar.

“Bagaimana bisa ia benar? Ia seharusnya tidak menyalahkan Ibu padahal salahnya sendiri ia tidak mendapat pekerjaan.”

“Jujur saja, jika ibu menulis CV yang bagus, ibu tidak akan hidup seperti ini pada usia seperti ini. Aku seharusnya sudah bekerja dan bisa membeli rumah,” giliran Ibu yang terlihat sedih.


Dan kesedihan ibunya adalah kesedihan Cha Sik. Tapi ia tidak akan membiarkan ibunya larut dalam kesedihan.

“Nyonya Jung,” bujuknya. “Ibu, tunggulah. Aku akan mencari banyak uang, membeli bangunan dan membuat Ibu pemilik gedung paling kaya. Dan ibu tidak perlu melakukan ini lagi. Ibu tidak perlu lagi berkeliaran malam-malam menempel poster. Ibu tidak akan menerima telepon seperti tadi lagi. Ibu tidak perlu memasak dan bersih-bersih. Dan aku akan membuat Ibu pergi jalan-jalan dan belanja ke luar negeri,” katanya sungguh-sungguh.

Ibu tersenyum. Ia bisa merasakan betapa bagusnya Yoo Seul memainkan piano. Karena kata-kata Cha Sik tadi terdengar seperti pelangi itu. Pelangi yang membuat dunia terlihat seperti surga. Cha Sik tersenyum senang.


Murid-murid perempuan di kelas Yoo Seul mengganti seragam mereka dengan seragam olahraga di kelas. Sementara para murid pria disuruh keluar di saat mereka berganti pakaian.

Gyoo Sun (murid yang melihat Jin Mok membenahi sandal Yoo Seul) menyadari Yoo Seul tidak ada di kelas. Tapi yang lain tidak peduli karena Yoo Seul memang terbiasa berganti pakaian sendirian di tempat lain. Gyoo Sun tetap khawatir karena Yoo Seul sekarang tidak bisa melihat.

Cha Sik mengantar Yoo Seul ke kelas kosong. Tadinya ia hendak berjaga-jaga di kelas itu tapi tentu saja Yoo Seul mengusirnya.


Setelah menutup pintu, Yoo Seul mulai melepas seragamnya. Ia tidak tahu kalau ada murid iseng yang merekamnya dengan ponsel.

Tiba-tiba terdengar suara seseorang memanggil murid iseng tersebut. Untunglah Yoo Seul baru membuka seragam luarnya. Ia cepat-cepat berjongkok begitu mendengar suara.


Orang itu membawa si murid iseng pergi dengan alasan tidak tahu di mana kelas olahraga hari ini. Ia adalah Jin Mok yang memergoki perbuatan memalukan murid iseng tersebut.

Setelah jauh, Jin Mok menegur murid tersebut dengan keras. Murid itu berkata ia hanya mengambil foto sambil lewat. Jin Mok merebut ponsel murid tersebut lalu membantingnya ke lantai.

“Bersyukurlah aku tidak membawanya ke polisi,” kata Jin Mok.

Tapi murid itu berkata apa yang ia lakukan bukanlah apa-apa. Ia menyalahkan Yoo Seul yang mengundang perbuatan semacan itu karena berganti pakaian di tempat terbuka.
“Dan lagi ia tidak bisa melihat, jadi ia tidak akan tahu.”

Jin Mok marah dan menyerang murid tersebut. Keduanya hampir berkelahi jika tidak dipisahkan oleh murid-murid lain.


Jin Mok pulang dengan tangan berbalut perban akibat pertengkaran tadi. Ia bergabung dengan keluarganya untuk makan malam. Ayahnya bertanya apakah ia sudah siap untuk bermain piano dalam acara pernikahan salah satu kerabat mereka.

Jin Mok menunjukkan tangannya yang terluka dan berkata sepertinya akan sulit baginya untuk bermain piano. Ibunya bertanya apa yang sudah terjadi.

“Ada ketidaksepahaman dengan seorang teman,” jawab Jin Mok menenangkan.


Tapi yang lebih dikhawatirkan ayahnya adalah Jin Mok yang tidak bisa bermain pada pernikahan itu. Ia menyuruh ibu Jin Mok menelepon kerabat mereka untuk memberitahu situasi ini.

“Apakah mereka bisa mencari gantinya dalam waktu 2 hari?” ujarnya. Ia menyuruh kakak Jin Mok untuk mencari soal itu.

“Apakah hanya itu yang Ayah khawatirkan?” tanya Jin Mok. “Apakah Ayah lebih mengkhawatirkan hal itu daripadaku? Puteramu yang seorang pianis terluka tangannya. Tidakkah Ayah seharusnya bertanya bagaimana dan kenapa aku bisa terluka? Seorang Ayah seharusnya seperti itu.”

Ayahnya menghela nafas panjang dan bertanya apakah Jin Mok sedang merengek lagi.

 “Iya, aku merengek lagi. Kukira Ayah akan khawatir padaku begitu melihat tanganku,” kata Jin Mok emosi.



Ayah bertanya apakah Jin Mok merengek seperti ini karena tidak cukup percaya diri sebagai pianis.

“Biasanya seorang pengecut merasa terluka jika diabaikan. Mereka memohon dan merengek minta perhatian. Seperti yang kaulakukan sekarang. Kau membodohi dirimu dan mulai bermain piano karena menganggap dirimu tidaklah buruk. Jika kau terus membodohi dirimu sendiri, kau hanya semakin terluka. Kau akan kehilangan kepercayaan diri dan pada akhirnya kau akan semakin merengek. Apa Ayah salah?”

Jin Mok terdiam.

Ia melampiaskan kekesalannya dengan bermain piano kuat-kuat meski tangannya terluka.



Cha Sik melihat para murid mengerubungi sebuah poster. Karena penasaran, ia bergabung dengan mereka. Itu adalah poster kompetisi 2 piano.

“Bukankah  itu saat 2 orang memainkan piano bersama-sama?” tanyanya.
“Memangnya kaupikir 12 orang memainkan 2 piano?” Sang Pil balik bertanya dengan ketus.
“Apa ini untuk tahun ini?” Cha Sik terus bertanya
“Memangnya kau pikir mereka akan menempel poster untuk tahun kemarin? Kau ini…”



Cha Sik mendekati poster itu. Kompetisi akan diadakan 3 bulan lagi. Ia menyentuh poster itu.

“Ini seperti mimpiku. Apa yang harus kulakukan agar aku bisa ikutan?” tanyanya bersemangat.


“Dilahirkan kembali,” jawab Jin Mok mendekat. Murid-murid yang lain tertawa membenarkan.

“”Berhenti bercanda dan beritahu aku apa yang harus kulakukan,” protes Cha Sik kesal.

Jin Mok berkata ia tidak bercanda. Tidak masuk akal untuk orang tak berotak seperti Cha Sik ingin ikut kompetisi. Cha Sik berkeras ia dilahirkan berbakat.

“Atas dasar apa? Apa peramal yang mengatakan kau berbakat seni? Atau golongan darahmu sesuai dengan takdir  seorang seniman?” olok Jin Mok.


Murid-murid yang lain ikut mengolok Cha Sik. Akhirnya Cha Sik tak tahan lagi dan berkata ayahnya adalah Hyun Myung Sae. Semua terdiam.

“Bagaimana? Apa masih tedengar seperti seperti gurauan? Apa sekarang aku terlihat berbeda?” tanya Cha Sik.

“Hei, kau itu harus berpikir lebih dulu sebelum berbohong,” kata Sang Pil. “Hyun Myung Sae itu tidak menikah. Bagaimana bisa kau mengarang cerita seperti itu?”

Cha Sik memperlihatkan foto ibunya bersama Hyun Myung Sae. Apa sekarang mereka percaya?


Gyoo Sun berkata jika hanya foto itu buktinya maka akan ada jutaan anak yang mengaku anak Hyun Myung Sae karena pianis itu selalu berfoto dengan fans-nya setelah pertunjukan. Murid lain mengaku bibinya juga memiliki foto seperti itu. Ada juga yang menganggap foto itu hasil rekayasa.

Ada yang berkata Cha Sik bisa dituntut Hyun Myung Sae karena merusak nama baiknya. Dan ada yang mengolok Cha Sik terlalu banyak nonton TV.

“Delusional seperti ini merupakan penyakit jiwa, tahu?”

Diolok dan diejek seperti itu membuat Cha Sik marah.
“Jika aku memenangkan juara pertama kompetisi ini, apakah itu akan membuktikan aku puteranya?!” tantangnya.


“Juara pertama itu berlebihan. Aku akan percaya jika kau bisa melewati tahap awal,” kata Jin Mok. Murid-murid lain setuju.

Oke setuju, kata Cha Sik. Ia pergi setelah menepuk bahu Jin Mok.

Setelah Cha Sik pergi, murid-murid membicarakannya. Gyoo Sun bertanya-tanya apakah Cha Sik akan lolos tahap awal. Tidak mungkin, kata Sang Pil.
“Dia tidak akan bisa menemukan partner.”

“Bagaimana jika ia berpasangan dengan Yoo Seul?” tanya Gyoo Sun.

“Yoo Seul? Dia akan berkata begini: apa kau gila?” Sang Pil meniru gaya Yoo Seul.


Dan itulah yang dikatakan Yoo Seul ketika Cha Sik memberitahunya perihal kompetisi itu. Ia menyuruh Cha Sik mencari dokter jiwa.

“Aku lebih dari normal saat ini,” kata Cha Sik.
“Tidak. Sejak aku bertemu denganmu, kau tidak pernah normal. Apa kau tahu apa artinya normal? Bagaimana bisa kau selalu gila?”

Cha Sik berkata waktu kompetisi masih 3 bulan lagi dan lagi mereka hanya perlu memainkan satu lagi. Jika ia latihan mati-matian, ia akan bisa bermain cukup baik untuk ikut kompetisi.


Yoo Seul berkata masalahnya bukan Cha Sik anak Hyun Myung Sae atau bukan.
 “Bahkan anak Mozart tidak akan bisa melakukannya. Aku tidak tertarik terlibat dalam taruhanmu. Jika kau ingin orang-orang percaya kau puteranya, ikuti tes DNA. Itu lebih masuk akal.”

“Apa kau pikir aku akan kalah?”
“Apa aku pikir kau akan kalah? Cobalah berpikir dari sudut pandangku. Jika aku berlatih lompat galah selama 3 bulan untuk mengikuti kompetisi, apa menurutmu aku akan menang?”

Tidak, Cha Sik mengakui. Yoo Seul berkata beberapa hal memang tidak bisa dipaksalan. Kompetisi adalah untuk pianis yang sudah 10 tahun belajar piano.

“Berpikir kau bisa menyusul dalam waktu 3 bukan hanya ceroboh, tapi  tak sopan.”
“Begitu…kau benar, aku tak sopan. Aku minta maaf,” kata Cha Sik pelan.


Sikap Cha Sik yang tak biasanya membuat Yoo Seul jadi tak enak hati. Apalagi sepanjang perjalanan pulang, Cha Sik sangat diam.

Cha Sik teringat percakapan malam itu dengan ibunya. Sebenarnya ia ingat mimpinya namun tidak menceritakan pada ibunya. Ia menyimpan rahasia dari ibunya.


“Dalam mimpiku, aku bermain piano dengan Yoo Seul. Dalam mimpiku aku tidak terlihat seperti berandalan dan tidak terlihat seperti preman. Tentu saja, aku mungkin terlihat seperti seorang playboy, tapi aku tetap terlihat sebagai pianis hebat.

Dalam mimpiku, Yoo Seul tidak kehilangan penglihatannya. Terkadang ia melihatku dan tersenyum. Dan senyumnya sangat menawan. Mimpi itu begitu indah hingga aku ingin hidup di dalam mimpi itu.”


Ia menghentikan sepedanya di depan piano nyentrik dalam terowongan. Yoo Seul bertanya mengapa Cha Sik berhenti.

“Yoo Seul, jika aku bisa memainkannya apakah itu artinya aku memiliki potensi?” tanyanya.
“Bagaimana kau bisa memainkannya? Berhentilah bicara omong kosong.”
“Jadi jika aku bisa memainkannya, tolong berikan persetujuanmu, ya?”


Yoo Seul bertanya bagaimana bisa Cha Sik begitu percaya diri seperti ini. Ia terpikir sesuatu dan turun dari sepeda sambil tersenyum mengerti.

“Cha Sik, kau pasti berpikir aku gampangan ya? Apa aku terlihat mudah tertipu? Aku tahu ada seseorang di sini yang akan memainkan piano untukmu sementara kau berpura-pura memainkannya.

Jangan coba-coba membodohiku. Siapa sekutumu? Sebaiknya kau mengaku. Gyoo Sun? Sang Pil? Tidak mungkin Jin Mok, kan?? Tidak mungkin…psikopat itu tidak akan berurusan dengan orang sepertimu.”


Cha Sik turun dari sepeda. Lalu menggendong Yoo Seul dan mendudukkannya di depan piano. Yoo Seul meronta-ronta pada awalnya.

Cha Sik meraih tangan Yoo Seul dan menaruhnya di tangannya sendiri. Lalu ia mulai menekan tuts piano.  Yoo Seul terpaku. Itu adalah melodi Symphony No. 9 yang pernah ia mainkan.


“Itu adalah mimpi yang sangat singkat. Tapi itu adalah mimpi yang akan kuingat seluruh hidupku. Aku tidak bisa membiarkannya hanya menjadi mimpi.”

Ternyata Cha Sik telah berlatih sendiri bermain piano. Mulai dari posisi jari dan cara menekan tuts. Berhari-hari ia berlatih. Berkali-kali ia gagal tapi ia tidak putus asa dan mencoba lagi. Hingga jarinya terluka dan penuh perban. Bahkan pada malam hari saat tak ada siapapun ia berlatih sendirian.

“Meski membutuhkan waktu lama, aku bertekad untuk menjadi pianis betulan.”




Cha Sik menyelesaikan permainan pianonya dengan baik. Perasaan Yoo Seul campir aduk mendengarnya.

“Apa kau masih tidak percaya padaku?” tanya Cha Sik.
“Kurasa aku percaya padamu.”



“Mari kita mengikuti kompetisi bersama, Yoo Seul.”

Yoo Seul mengangguk sambil tersenyum. Cha Sik balas tersenyum.


“Mimpiku mulai menjadi kenyataan….”

Komentar:

Kalau semua orang begitu gigih seperti Cha Sik, sepertinya tidak akan ada orang gagal di dunia ini^^

Yoo Seul adalah seorang yang berbakat piano secara alami. Namun ibunya terlalu memaksanya hingga Yoo Seul merasa bakatnya adalah beban baginya. Ia menyesali bakatnya. Tapi sepertinya mau tidak mau ia harus mengakui bagaimanapun juga piano adalah bagian dari hidupnya. Buktinya ketika ia memainkan piano untuk Cha Sik, ia terlihat memainkannya dengan penuh perasaan.

Di sisi lain, Jin Mok adalah seseorang yang ingin berbakat piano. Ia merasa dirinya berbakat dan merasa tidak butuh diajari orang lain. Tapi karena perkataan ibu Yoo Seul saat ia kecil dan juga melihat kejeniusan Yoo Seul, rasa percaya dirinya runtuh dan ia berulang kali membutuhkan pengakuan kalau ia berbakat.

Apalagi dengan ayahnya yang juga menganggap Jin Mok hanya membodohi dirinya sendiri karena menganggap dirinya berbakat. Bukan dukungan yang ia dapat, tapi rasa pesimis dan perasaan diabaikan.

Di antara mereka, muncullah Cha Sik. Seorang yang sama sekali tidak pernah belajar musik. Berbekal keyakinan bahwa ia anak seorang pianis terkenal, ia merasa percaya diri dan yakin kalau ia berbakat. Mungkin awalnya ia ingin menjadi pianis karena merasa ayahnya seorang pianis (yang sepertinya masih perlu dibuktikan lagi apakah Hyun Myung Sae benar-benar ayahnya). Tapi ia terpikat dengan suara alunan piano Yoo Seul dan benar-benar ingin menjadi pianis juga.

Sebenarnya memang agak tidak masuk akal Cha Sik bisa memainkan lagu sesulit itu dalam waktu singkat meski ia berlatih mati-matian. Tapi poinnya adalah kerja keras dan kegigihannya membuahkan hasil.

Dari ketiganya, terlihat jelas perbedaannya. Yoo Seul yang berbakat tapi ingin berhenti. Jin Mok yang berusaha meyakinkan dirinya berbakat tapi dalam hatinya ia tidak percaya diri. Cha Sik yang tidak berbakat tapi penuh percaya diri.

Ada pepatah mengatakan kejeniusan itu hanya 10% sedangkan 90% sisanya adalah kerja keras. Cha Sik membuktikan itu.

Karakter Cha Sik sungguh menawan. Siapa yang tidak jatuh hati dengan kepribadian seperti itu? Dan kedekatannya dengan ibunya sangat menyenangkan untuk dilihat. Bisa dilihat kepercayaan diri Cha Sik adalah karena ibunya.

Tapi justru karena Cha Sik yang begitu percaya diri dan positif, entah kenapa aku sedikit lebih memihak Jin Mok. Saking positifnya, aku merasa Cha Sik akan bertahan dalam situasi apapun. Sementara Jin Mok membutuhkan seseorang yang bisa mendukungnya. Errr…dan juga karena perhatian diam-diam Jin Mok yang ngegemesin ;p

Sepertinya sulit melihat Yoo Seul berbalik sikap pada Jin Mok. Apa mungkin justru Cha Sik yang bisa menolong Jin Mok? 

Baca Info Drama Korea Lainnya:

0 Response to "Sinopsis Page Turner Episode 2 (Bagian 2)"

Posting Komentar

newer older home